Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden 2014 baru saja usai, hajatan besar bangsa Indonesia yang terjadi setiap lima tahun sekali untuk memilih wakil rakyat yang bertugas melayani kepentingan rakyat walaupun ditengah perjalanannya mengalami distorsi makna dari yang seharusnya melayani rakyat menjadi majikan rakyat, dibulan ini pula ribuan anggota DPRD yang baru saja terpilih diambil sumpahnya secara serentak dihadapan Pengadilan Agama sebagai bentuk deklarasi diri menjadi wakil rakyat yang siap mengemban amanah dan ikrar tidak melakukan tindakan-tindakan yang berbau korupsi, kolusi, nepotisme maupun kejahatan lain yang dapat merugikan rakyat.
Harus diakui pesta demokrasi yang baru saja dialui ini merupakan Pemilu terburuk sepanjang sejarah Indonesia dimana stempel Pemilu buruk tersebut diamini oleh para pengamat politik bahkan kalangan politisi itu sendiri pasalnya untuk mendapatkan dukungan dan simpati pemilih tidak mudah, ada anggota Dewan yang selama lima tahun ngurusi konstituen dengan memberikan perhatian khusus tapi ketika maju kembali sebagai Caleg untuk periode berikutnya konstituen tersebut menghargai suaranya dengan nilai rupiah, jika yang sudah diberikan perhatian khusus saja seperti ini lalu bagaimana dengan kelompok masyarakat yang belum sama sekali diperhatikan?
Setidaknya ada catatan khusus yang kami dokumentasikan mengapa Pemilu kali ini dicap sebagai Pemilu Terburuk yaitu masifnya money politic yang tersebar dihampir semua level baik tingkat Kabupaten/kota, Propinsi maupun Pusat, diawal kemunculannya membagikan uang pada saat kampanye disebut money politic tapi kini namanya sudah beragam, ada yang mengatakan sedekah politik, dana penyeimbang, dan mungkin didaerah lain punya sebutan yang beda namun pada intinya tetap sama yaitu memberikan sejumlah uang agar dipilih rakyat, lalu bagaimana hukumnya? Dalam hal ini tentu penulis bukan ranahnya memberikan penilaian terhadap hal tersebut. Namun demikian, mayoritas masyarakat kita justru banyak yang memilih Caleg karena uangnya bukan berdasarkan track recordnya.
Hasil tentu berbanding lurus dengan proses, sebuah proses yang baik akan melahirkan hasil yang baik sebaliknya proses yang buruk akan melahirkan hasil yang buruk.
Selama lima tahun berada digedung Dewan banyak cerita yang kami dapatkan, pekan kemarin kebetulan kami ngobrol santai (ngobras) diruang tamu dengan salah satu anggota dewan sebut saja namanya Fulan, sambil menghisap rokok dia mengatakan “yang namanya Dewan kalo ngadain kunjungan ada aja kerjaanya mas,” “maksudnya?“ tanya saya, “kalo saya paling cuma ikut karaoke aja tapi yang lain biasanya sampai nenggak, kalo sudah seperti itu paling saya pergi kekamar, pernah bahkan dikamar ada yang bawa satu krat miras tapi saya ndak ikut minum.”tambahnya. Lain lagi cerita dengan anggota Dewan perempuan yang baru saja terpilih untuk pertama kalinya, “jenengan tahu 3 fungsi anggota DPR mbak?” tanya saya santai sambil tersenyum, “belum tahu mas, lha wong pas Pemilu kemarin aja saya ndak sosialisasi sama sekali soalnya takut ditanya macam-macam makanya suami saya yang kemarin nyari suara” jawab beliau polos.
Kita semua berharap anggota Dewan yang baru terpilih 9 April kemarin bisa membawa angin segar perubahan bangsa Indonesia kearah yang lebih baik tapi jika ternyata tidak lebih baik dari yang kemarin kita semua tentu wajib melakukan introspeksi karena Pemimpin yang baik lahir dari masyarakat yang baik. Bukankah pemimpin symbol dari yang dipimpinnya? (Erf)
Comments
Post a Comment